Thursday, October 05, 2006

Kisah Pelik Sunan Gunung Jati

Fungsi haji sebagai legitimasi politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten, babad yang dikarang pada paroh kedua abad ke-17. Menurut sejarah legendaris ini, pendiri dinasti Islam di Banten, Sunan Gunung Jati, naik haji bersama dengan anak dan penggantinya, Hasanuddin, setelah mereka bertapa di berbagai gunung (pusat kosmis!) di Jawa Barat. Dari Sajarah sendiri sudah jelas bahwa haji mereka bukan suatu perjalanan biasa, dengan naik perahu dan sebagainya. Mereka sebagai wali mencapai Makkah dengan cara lain, yang tak patut diungkapkan.[4] Perjalanan haji ini digambarkan lebih lanjut dalam karya berbahasa Melayu, Hikayat Hasanuddin, yang dikarang sekitar 1700. Sunan Gunung Jati mengajak anaknya:

"Hai anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karena sekarang waktu orang naik haji, dan sebagai pula santri kamu tinggal juga dahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerti anakku!" Setelah sudah ia berkata-kata, maka lalulah ia berjalan dengan anaknya dan dibungkusnya dengan syal. Maka tiada beberapa lamanya di jalan lalu ia sampai di Makkah, maka lalu di Masjidul Haram. Serta sampai di Masjidul Haram maka lalu dikeluarkannya anaknya dari dalam bingkisan, lalu sama-sama ia thawaf ke Baitullah serta diajarnya pada kelakuan thawaf dan do'anya sekalian, serta mencium pada hajarul aswad, dan ziarat kepada segala syaikh, dan diajarkannya rukun haji dan kesempurnaan haji. Setelah sudah ia mendapat haji, maka lalu ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir. Setelah sudah ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir itu, lalu ia pergi ke Medinah serta mengajarkan anaknya ilmu yang sempurna, beserta dengan bai'at demikianlah silsilah dan wirid dan tarekat Naqsyabandiyah serta dzikir dan talkin dzikir [dan] khirqah serta syughul..

KERAMAT SUNAN G. JATI

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah air, sejarah telah membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif Hidayatullah baik dalam kapasitas sebagi Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat ulung dan Negarawan yang bijak.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati"
Kategori: Walisongo | Sejarah Nusantara

Perjalanan Syarif Hidayatullah Wali 9

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

SUNAN GUNUNG JATI ...APAKAH KAITAN DENGAN TANJUNG JATI...?

Sunan Gunung Jati, Falatehan atau Fatahillah, menurut beberapa ahli sejarah, berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh. Namun ada juga yang mengatakan, beliau mempunyai darah keturunan Persia. Beberapa yang lain menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah putra dari Raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran (Sunda).
Ada yang memperkirakan Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Di samping itu, Sunan Gunung jati mempunyai banyak nama, di antaranya Muhammad Nurudin, Syekh Nurullah, Sayyid Kamil, Bulqiyah, Syekh Madzkurullah, Syarif Hidayatullah, Makdum Jati. Sedang menurut babad-babad (cerita), nama asli Sunan Gunung Jati sangatlah panjang, yaitu Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil, Syarif Hidayatullah, Said Kamil, Maulana Syekh Makdum Rahmatullah.
Mengenai nama Sunan Gunung Jati, menurut dugaan Prof Hoesin Djajadiningrat, yang dimaksudkan dengan Falatehan, kemungkinan berasal dari bahasa Arab Fatkhan, dari kata Fath. Hal ini mengingat bahwa dalam tahun 1919 ada seorang naib dari kawedanan Singen Lor, di Semarang yang bernama Haji Mohammad Fathkan. Menurut penyelidikan Dr BJO Schrieke, salah seorang orientalis Barat yang terkenal, mengatakan bahwa nama Falatehan itu mungkin berasal dari perkataan Arab: Fatahillah.
Banyak kisah yang kadang tak masuk akal dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Di antaranya bahwa beliau pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaiman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak usia 14 tahun. Pendidikan agama didapatnya dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Tercatat Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya wali songo yang pernah memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra raja untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Beliau menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas dalam menyampaikan dakwahnya. Kendati demikian, ia juga mendekati rakyat dengan cara membangun infrastruktur berupa jalan yang menghubungkan antarwilayah.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk menekuni dakwah. Kekuasaan dilimpahkan kepada Pangeran Pasarean.
Berdasarkan catatan sejarah, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon) tahun 1589. Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon arah barat.

WALI SONGO @ 9 Review Semula Menjejaki laluan mereka.




PENGKHUSUSAN SAYA DALAH SUNAN GUNUNG JATI.

"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha
(Sumber: http://www.pesantren.net/sejarah/wali-index.shtml)